1. SEJARAH SINGKAT.
Peristiwa bersejarah tahun 1910 di Edinburgh merupakan tonggak sejarah yang pertama dan besar artinya bagi perkembangan gerakan oikumene modern. Sebab di Ibukota Skotlandia inilah telah diselenggarakan Konferensi Pekabaran Injil Sedunia (International Missionary Council). Pelopornya adalah seorang Methodist yang bernama Dr.John R.Mott.
Konperensi tersebut menghasilkan terbentuknya Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD) setelah 38 tahun kemudian (bulan Agustus, 1948), juga melalui sebuah konperensi dengan tema: “Kekacauan Manusia dan Rencana Penyelamatan Allah”. Upaya mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa nampak melalui Sidang Raya-Sidang Raya yang dilakukan dari tahun ke tahun.
Dalam perkembangannya, Gerakan Oikumene di Asia dan Indonesia juga berjalan dari konperensi ke konperensi dengan tema-tema khusus dan dengan harapan-harapan tertentu demi pertumbuhan dan perkembangan gereja menuju keesaan sebagaimana yang diharapkan.
DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia – sekarang PGI) kemudian terbentuk pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta sebagai wujud tanggung jawab teologis-etis Gereja-gereja di Indonesia, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, sama dengan warga bangsa lainnya. Tujuan DGI pada saat didirikan ialah “Membentuk Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
Para pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen waktu itu sadar, bahwa untuk menjadi berkat bagi dunia dan bagi bangsa, Gereja-gereja di Indonesia dengan latar belakang denominasi yang berbeda-beda seperti: Lutheran, Reformed, Methodist dll hendak dipersatukan, baik secara fungsional maupun secara struktural. Ada kerinduan besar pada periode itu (terutama periode 1950-1967) untuk mengubah Dewan Gereja-gereja di Indonesia , menjadi “Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia” (The Uniting Church in Indonesia) seperti yang terjadi di Australia (Uniting Church in Australia), India (Church of South India) dll.
Dalam rangka pengupayaan perwujudan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) perlu dicatat, bahwa ada semacam ketegangan antara dua kecenderungan, yakni:
a. Kecenderungan untuk mengutamakan “keesaan rohani dalam Kristus” dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus pada penyatuan secara struktural-organisatoris.
b. Kecenderungan untuk mengutamakan keesaan struktural-organisasi dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing-masing.
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka pada Sidang Raya VI DGI di Ujung Pandang (sekarang Makassar) 1967, muncul konsep 1) tata Sinode Oikumene Gereja di Indonesia (SINOGI), dan 2) Pemahaman Iman Bersama. Namun gereja-gereja anggota belum siap menerima gagasan tersebut. Hingga SR IX di Tomohon benar-benar dipersiapkan pembentukan GKYE dalam SR X di Ambon.
Itulah sebabnya sejak SR Ambon (1984) nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia diubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Rumusan tujuan PGI pada pasal 4 TD juga diubah dari Membentuk Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia menjadi Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Dan istilah Badan Persatuan Oikumene dari Gereja-gereja pada pasal 1 Anggaran Dasar DGI 1950, diubah menjadi Persekutuan Gerejawi pada pasal 1 TD PGI sejak Ambon.
Sangat dirasakan bahwa keesaan gereja tidak mungkin dikembangkan dari atas yaitu pada tingkat DGI sehingga harus ditumbuhkan dari bawah pada tingkat jemaat/gereja di wilayahnya. Pada saat itu juga diputuskan untuk membentuk Dewan Gereja-gereja di Wilayah untuk menumbuhkan kesadaran keesaan gereja di kalangan warga gereja setempat. DGW adalah bagian integral dari DGI. Dengan demikian diharapkan keesaan gereja digumuli pada tingkat wilayah dimana gereja-gereja berada.
Keanggotaan DGW terdiri dari Gereja-gereja anggota DGI di suatu wilayah tertentu. Sedang kegiatan DGW tidak terbatas pada Gereja-gereja anggota DGI saja, tetapi juga pada Gereja-gereja non-DGI.
Dewan Gereja Wilayah Maluku dibentuk di Ternate pada tanggal 5 Pebruari 1967. Pada waktu pembentukan DGW Maluku didukung oleh 4 Gereja dengan jumlah anggota masing-masing pada waktu itu, sebagai berikut:
- Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), 6000 anggota.
- Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), 15.000 anggota.
- Gereja Bala Keselamatan Korps Ambon, 100 anggota.
- Gereja Protestan Maluku (GPM), 574.862 anggota.
Menjadi kebanggaan waktu itu hingga tahun 1987 rasa keesaan di kalangan gereja-gereja anggota sangat tinggi sebab di dalam DGW Maluku terdapat dua pusat sinode, yakni Sinode GPM dan Sinode GMIH. Sayang sekali akibat otonomisasi maka Maluku terbagi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Maka GMIH memisahkan diri dari PGIW Maluku tahun 2002 melalui Sidang Wilayah di Manado.
Pada masa-masa konflik kemanusiaan (tahun 1999) rasa keesaan bertambah kuat justru dalam menghadapi tantangan. Pada masa itu banyak kegiatan dilakukan secara bersama-sama. Tantangan mempererat hubungan antar-gereja.
Dalam perkembangannya DGI Wilayah Maluku (kini PGIW Maluku) tahun 2008 ini beranggotakan 11 Gereja Anggota (GPM, GBIS,GPPS,GSJA,GBI,GBK,GSK,GTDI,GKPB,GEKARI,GKKK). Sementara GKPII sudah sangat aktif terlibat dalam seluruh kegiatan PGIW Maluku.
- HUBUNGAN DAN KERJASAMA PGIW MALUKU.
Sejak awal pembentukannya PGI/PGIW melihat salah satu tugasnya ialah memelihara atau membangun hubungan dengan pihak-pihak luar PGI/PGIW termasuk hubungan dengan pemerintah. Anggaran Dasar DGI tahun 1950 pada pasal 4 berbunyi:
“Untuk mencapai tujuan ini DGI berusaha dengan jalan:
- Menyelidiki dan menganjurkan hal-hal yang menuju kepada pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
- Menganjurkan kerjasama di antara Gereja-gereja dalam segala lapangan dan mengusahakan kerja bersama menurut persetujuan Gereja-gereja.
- Memperluas dan memperdalam hubungan oikumenis di dalam dan di luar negeri.
- Mengadakan hubungan dengan pemerintah dan perwakilan mengenai soal-soal umum.
Kegiatan-kegiatan oikumenis yang dilakukan selama ini sangat ceremonial-formalistik sifatnya, hanya menyentuh tataran atas, misalnya melalui ibadah-ibadah oikumenis, pertukaran pengkhotbah dan pertemuan-pertemuan lain yang bersifat formal. Beberapa kali diupayakan bagaimana hubungan antar-gereja anggota terjalin secara baik, baik pada tataran pemimpin maupun pada tataran basis. Namun kenyataannya masih ada sikap kurang percaya, ragu-ragu, curiga, saling tuduh dll, yang pada dasarnya menunjukkan kurangnya sikap terbuka dan masih cenderung eksklusif.
Pada kesempatan ini dapat disebutkan beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain:
- sikap eksklusif-triumfalistik warga gereja. Sikap seperti ini sangat menghambat hubungan kerjasama antar-gereja anggota PGIW dan non PGIW.
- Perbedaan pandangan, doktrin, liturgi dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipertahankan sehingga tanpa sadar secara serius memupuk sikap tertutup dan tidak menghargai perbedaan.
- Pandangan tentang pluralisme dan keragaman sebagai anugerah bukan sebagai ancaman belum merata dalam kehidupan umat/gereja yang menyebabkan disintegrasi persekutuan umat Tuhan.
Perwujudan GKYE sebagaimana tujuan DGI (PGI) sesungguhnya menjadi upaya yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan. Tidak boleh diabaikan dan dianggap sepele. Untuk itu ada beberapa hal dapat dikemukakan sebagai langkah-langkah konkret:
- pertemuan-pertemuan informal harus lebih sering dilakukan; kunjungan ke tiap-tiap gereja anggota
- sharing kelompok-kelompok perempuan, laki-laki, pemuda, anak remaja dengan membahas topik-topik tertentu dan diarahkan pada berlangsungnya dan pentingnya hubungan oikumenis.
- Secara bersama-sama memikirkan masalah-masalah kemanusiaan sebagai masalah bersama dan perlu disikapi secara bersama-sama pula.
Keinginan dan harapan untuk bersatu secara struktural dan fungsional bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu mesti dipahami bahwa ini adalah tugas kita bersama selaku gereja-gereja yang hidup dan berkarya bagi Tuhan di bumi yang satu ini. Persaudaraan umat manusia hendaknya menjadi perhatian kita. Persaudaraan umat manusia yang telah dirusakkan oleh dosa dipulihkan oleh Sang Manusia: Yesus. Di sanalah kita mempunyai landasan yang kuat bagi persaudaraan umat manusia.
Alkitab menegaskan, bahwa “Allah itu baik bagi semua orang” (Mzm 145:9), dan bahwa Allah menerbitkan matahari, bagi orang baik maupun bagi orang jahat sekalipun (Mat.5:45). Ini berarti bahwa Allah sebagai Bapa bagi semua orang. Doa Tuhan Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu sama seperti Engkau, ya, Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh.17:21), memperlihatkan persekutuan yang sangat erat di dalam Allah Tritunggal atas dasar kasih. Hal seperti ini mestinya juga tercermin dalam relasi-relasi antar-manusia, yang tentu saja harus dimulai dalam relasi-relasi intern umat Kristen.
Semoga bermanfaat!
************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar